Suatu malam di Surabaya saya diajak teman untuk berkelana di
Kota Pahlawan ini. Membelah kota Surabaya menuju sebuah jalan kecil dan padat
penduduk di selatan Surabaya. Tepatnya di Jalan. Pulo Wonokromo, berdiri sebuah
Gedung Kesenian yang terlihat kumuh berdampingan dengan rumah warga. Gedung ini
jauh dari kesan megah bila dibandingkan gedung kesenian lainnya di Surabaya maupun
kota lain, bangku-bangku penonton terbuat dari kayu, pintu masuk yang sudah
mulai keropos, loket tiket yang ala kadarnya, ditambah dengan bau yang tak
sedap, toilet?? *hhmm..bayangkan sendiri saja. Jauuhhh dari
perkiraan saya, tapi bagaimana pun tempat ini adalah tempat sangat sangat
bersejarah bagi kesenian Surabaya yang diakuin oleh dunia. Tapiii..pertanyaan
kecil saya, kenapa tak dirawat?? *Ironisnyaa.. Hampir tiap malam, kursi penonton kosong. Kadang pula
pertunjukan ludruk batal.
Dengan membayar Rp.4000 pada akhir pekan, gedung pertunjukan ini ramai oleh penonton.
Itupun mayoritas orang tua atau warga sekitar yang masih setia menonton ludruk. Dalam sebuah drama ludruk, ada sekitar 60 orang yang
terlibat sebagai pemain ataupun pengiring musiknya. Pemain ada beberapa yang
waria, ini yang menjadi keunikan dan ciri khas dari Ludruk Surabaya.
Berkenalan dengan beberapa pemain ludruk yang notabene waria
merupakan hal yang mengesankan buat saya, diajaklah saya oleh seorang pemain
masuk ke belakang panggung. Berjalan di sebuah lorong gelap, sempit dan sedikit
“menyeramkan” untuk melihat persiapan para pemain di balik panggung ini, tampak para waria itu pun mulai merias diri mereka dengan penuh keceriaan.
Lagi sibuk, mbak???...
(*Tolong Jangan Ketok - Ketok Pintu Ini Saya Sedang Istirahat Yah Saya Capek Sekali Kawan)
Pemain yang diantaranya berumur 20 tahunan dan ada juga yang umurnya sudah mencapai 55
tahun ini dengan keterampilan tangan mereka yang ulet mereka mulai bersiap di di
kamar mereka masing yang tergolong sempit dibawah panggung, ukurannya yaa 3x3
meter, tingginya 1 meter, jadi ketika masuk sedikit harus merundukkan kepala.
Akhirnya saya pun menyapa seorang pemain, saat berkenalan “nama saya Abdi,mas”. Saya
mengajaknya ngobrol sembari dia bersolek untuk bersiap naik panggung, dia
bercerita tentang pengalamannya selama menjadi pemain, suka duka, sampai cerita unik dirinya yang pernah "pacaran" dengan Fans (penonton setia)..!! Semua cerita dan sentilan – sentilan kata yang terucap dari bibir merahnya itu membuat
saya tertawa..
Yaakkk..dia sudah selesai make-up, menjadi seorang wanita
cantik. Sambil menuju ke tangga panggung dia menyalami saya lagi sambil berkata..“Nama saya Ayu, mas! Saya naik dulu yaa..” *ucap Abdi, ehh..salah Ayu maksudnya saya... :)
(˘̩̩̩.˘̩ƪ)
BalasHapuskalo kamu pasti jadi Oktavia yah... wakakakaka
BalasHapus